Aneh rasanya ketika harus
menyaksikan sebuah pentas teater di tempat yang tidak biasanya. Kenapa dibilang
aneh? Karena bagiku ini kali pertama menyaksikan pagelaran teater di sebuah
tempat yang jauh dari keramaian hiruk pikuk kota. Bertempat di kelurahan Dalung
kota Serang sebuah teater berjudul “Emergency : Bionarasi Tubuh Terbelah” itu
disuguhkan.
Konsep pertunjukannya pun sangat
berbeda dengan pagelaran teater yang biasanya aku tonton. Tidak ada panggung
ataupun setting lampu selayaknya sebuah pentas teater. Entah dengan maksud apa
sutradara pementasan itu membuat tata pentas sedemikian rupa. Kesan pertama
bagiku adalah aneh tapi mungkin itu merupakan bagian dari konsep sutradara
sendiri.
Panggung Pentas
Pementasan “Bioanarasi Tubuh
Terbelah” Karya dan Sutradara Nandang Aradea ini tidak memakai sarana gedung
pertunjukan untuk menggelar aksinya. Tempat pentas hanya berupa lapangan rumput
yang ditutupi oleh tumpukan daun bambu sebagai tanda disanalah peristiwa teater
itu berlangsung. Pola penonton dibiarkan melingkar mengelilingi arena
pertunjukan. Tak ada kursi ataupun tikar sebagai alas duduk. Sang sutradara
seperti ingin mengembalikan ingatan para penonton pada alam terbuka. Buatku
sendiri seperti menangkap sebuah pesan tersembunyi jika pentas teater tidak
hanya terjadi dalam gedung yang memiliki set lengkap tapi pentas teater itu
bisa dimana saja. Karena yang terpenting bukanlah tempat tapi peristiwa apa
yang akan disuguhkan oleh teater itu sendiri.
Konteks Bionarasi Tubuh Terbelah
Pagelaran itu dimulai dengan
nyanyian berbahasa sunda oleh seorang aktor di tengah-tengah arena. Aku sendiri
kurang tahu makna dari nyanyian itu. Tapi setidaknya ada aroma pedih dan sakit
yang terlontar dari setiap kalimatnya. Seperti seorang manusia yang kehilangan
jati dirinya. Menggapai-gapai, meraba jalan hidup yang dirasa semakin
semerawut. Jiwa yang hilang karena tubuh sudah terbelah oleh zaman. Selain itu
nada yang terdengar cukup membuat suasana tempat pentas sunyi. Sebuah awal yang
bagus menurutku.
Selang beberapa menit kemudian
muncul Enam orang aktor lainnya. Kepala mereka ditutupi oleh aksesoris bambu
dengan motif berbeda satu sama lainnya. Bambu-bambu itu menutupi hampir seluruh
kepalanya. Seram sekali melihatnya apalagi ditangan mereka menjulang sebilah
bambu panjang. Mereka datang berduyun-duyun memasuki arena pentas. Seperti segerombol
monster pembawa masalah yang akan membuat onar jagat manusia. Atau mungkin
virus yang akan menyerang otak manusia yang diwakili oleh seorang aktor dengan
tangan terbuat dari bambu panjang itu.
Satu persatu adegan itu
berlangsung. Aku mencoba untuk memahami peristiwa apa sebenarnya yang ingin
disampaikan oleh sutrada pementasan ini. Namun seperti menemukan jalan yang
rumit serumit judul dari pementasan itu. “Emergency : Bionarasi Tubuh Terbelah”
sebuah judul aneh buat pentas teater apalagi buat orang awam sepertiku hehe. Kalimat
itu lebih mirip dengan judul sebuah makalah atau bahkan skripsi mahasiswa
ketimbang judul sebuah teater. Tapi aku coba berpikir ulang jangan-jangan
memang hidup ini adalah sebuah masalah? Yang menuntut untuk dikaji dan diteliti
ulang. Entahlah, terlepas dari benar tidaknya terkaanku itu toh peristiwa
pentas malam itu harus aku cermati.
Emergency atau mungkin bahaya,
gawat, darurat yang coba aku telusuri maknanya dalam peristiwa teater malam
itu. Sepertinya sutradara ingin menyampaikan gagasan atau renungan (mungkin)
tentang sebuah bahaya dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat kita. Bahaya karena
kehidupan seperti berada di tepi sebuah jurang curam. Sedikit saja kita lengah
maka bahaya itu akan datang melindas. Sementara setiap individu harus berusaha
waspada. Terlihat dari adegan dimana para aktor saling menatap tajam. Aku merasa
mereka adalah cerminan dari manusia yang sebenarnya. Manusia zaman sekarang
yang secara tidak sadar sedang berada dalam sebuah emergency sosial. Kemudian masalah-masalah
itu (metafor: bambu) mereka bawa dan mereka susun sedemikian rupa. Membentuk persilangan
garis-garis menyerupai struktur dari daun dengan garis-garis tegas di dalamnya.
Kemudian para aktor bergerak
menuju pusat arena dengan membawa kontruksi serupa daun itu. Mengepung seorang
aktor yang berdiri dalam posisi waspada. Memburunya hingga dia tersudut dan
terhimpit dalam cengkaraman Enam buah kontruksi. Disinilah menurutku pilihan
jalan keluar dari bahaya itu sendiri. Sepertinya sebuah hal mustahil jika
manusia itu bisa terlepas dari bahaya hanya seorang diri. Apalagi jika bahaya
itu sudah menyangkut tatanan sosial yang notabene sudah menjadi akar permasalahan
umum. Perlu upaya lebih jauh dalam tindakan penyelesainnya. Tidak lagi
berbicara tentang tubuh individu melainkan harus bicara tentang tubuh-tubuh
persatuan. Terlihat bagaimana para aktor itu kemudian membuat sebuah bentuk
yang lebih besar lagi dengan menggabungkan Enam bilah kontruksi dalam satu
bagian utuh. Mereka seperti ingin memecahkan masalah bersama. Bersatu padu
untuk terlepas dari emergency meski tingkat keberhasilannya masih samar. Setidaknya
ada usaha yang dilakukan.
Akhirnya kontruksi besar itu
roboh! Mungkin ini makna simbolis yang aku tangkap dalam pementasan itu. Sebuah
simbol dimana masalah besar itu akan hancur jika kita bersatu dalam
penyelesaian sebuah konflik. Adegan selanjutnya berada dalam rasa hening yang
dalam. Para aktor memikul sebatang bambu besar secara beramai-ramai. Tidak ada
lagi tubuh yang terbelah, kalau memang yang dimaksud tubuh itu adalah manusia. Kini
semuanya bersatu. Berjalan beriringan mengantar seorang aktor yang tiba-tiba
merayap menaiki kontruksi yang sudah roboh itu. Tiba-tiba saja imajinasiku
terbawa jauh. Seperti melihat sebuah pengangkatan derajat seorang manusia
mendekati kesucian Tuhannya. Layaknya peristiwa yang dialami oleh Nabi Isa Almasih
yang diangkat kelangit atau bahkan tentang kisah Isra Mirajna Nabi Muhammad. Menurutku
inti dari adegan ini bercerita tentang bagaimana kita manusia harus dan akan
kembali kepada Sang Pencipta atau bisa saja sebagai manusia kita harus kembali
menemukan jati diri masing-masing dalam mengarungi samudera hidup ini. Jangan sampai
terbelah oleh zaman yang semakin tidak karuan. Kita harus menjadi manusia yang
benar-benar utuh tanpa bisa dibelah oleh apapun.
0 komentar:
Posting Komentar