Kamis, 25 Oktober 2012

TSI dan Bionarasi Tubuh Terbelah


Aneh rasanya ketika harus menyaksikan sebuah pentas teater di tempat yang tidak biasanya. Kenapa dibilang aneh? Karena bagiku ini kali pertama menyaksikan pagelaran teater di sebuah tempat yang jauh dari keramaian hiruk pikuk kota. Bertempat di kelurahan Dalung kota Serang sebuah teater berjudul “Emergency : Bionarasi Tubuh Terbelah” itu disuguhkan.

Konsep pertunjukannya pun sangat berbeda dengan pagelaran teater yang biasanya aku tonton. Tidak ada panggung ataupun setting lampu selayaknya sebuah pentas teater. Entah dengan maksud apa sutradara pementasan itu membuat tata pentas sedemikian rupa. Kesan pertama bagiku adalah aneh tapi mungkin itu merupakan bagian dari konsep sutradara sendiri.

Panggung Pentas
Pementasan “Bioanarasi Tubuh Terbelah” Karya dan Sutradara Nandang Aradea ini tidak memakai sarana gedung pertunjukan untuk menggelar aksinya. Tempat pentas hanya berupa lapangan rumput yang ditutupi oleh tumpukan daun bambu sebagai tanda disanalah peristiwa teater itu berlangsung. Pola penonton dibiarkan melingkar mengelilingi arena pertunjukan. Tak ada kursi ataupun tikar sebagai alas duduk. Sang sutradara seperti ingin mengembalikan ingatan para penonton pada alam terbuka. Buatku sendiri seperti menangkap sebuah pesan tersembunyi jika pentas teater tidak hanya terjadi dalam gedung yang memiliki set lengkap tapi pentas teater itu bisa dimana saja. Karena yang terpenting bukanlah tempat tapi peristiwa apa yang akan disuguhkan oleh teater itu sendiri.

Konteks Bionarasi Tubuh Terbelah
Pagelaran itu dimulai dengan nyanyian berbahasa sunda oleh seorang aktor di tengah-tengah arena. Aku sendiri kurang tahu makna dari nyanyian itu. Tapi setidaknya ada aroma pedih dan sakit yang terlontar dari setiap kalimatnya. Seperti seorang manusia yang kehilangan jati dirinya. Menggapai-gapai, meraba jalan hidup yang dirasa semakin semerawut. Jiwa yang hilang karena tubuh sudah terbelah oleh zaman. Selain itu nada yang terdengar cukup membuat suasana tempat pentas sunyi. Sebuah awal yang bagus menurutku.
Selang beberapa menit kemudian muncul Enam orang aktor lainnya. Kepala mereka ditutupi oleh aksesoris bambu dengan motif berbeda satu sama lainnya. Bambu-bambu itu menutupi hampir seluruh kepalanya. Seram sekali melihatnya apalagi ditangan mereka menjulang sebilah bambu panjang. Mereka datang berduyun-duyun memasuki arena pentas. Seperti segerombol monster pembawa masalah yang akan membuat onar jagat manusia. Atau mungkin virus yang akan menyerang otak manusia yang diwakili oleh seorang aktor dengan tangan terbuat dari bambu panjang itu.

Satu persatu adegan itu berlangsung. Aku mencoba untuk memahami peristiwa apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh sutrada pementasan ini. Namun seperti menemukan jalan yang rumit serumit judul dari pementasan itu. “Emergency : Bionarasi Tubuh Terbelah” sebuah judul aneh buat pentas teater apalagi buat orang awam sepertiku hehe. Kalimat itu lebih mirip dengan judul sebuah makalah atau bahkan skripsi mahasiswa ketimbang judul sebuah teater. Tapi aku coba berpikir ulang jangan-jangan memang hidup ini adalah sebuah masalah? Yang menuntut untuk dikaji dan diteliti ulang. Entahlah, terlepas dari benar tidaknya terkaanku itu toh peristiwa pentas malam itu harus aku cermati.

Emergency atau mungkin bahaya, gawat, darurat yang coba aku telusuri maknanya dalam peristiwa teater malam itu. Sepertinya sutradara ingin menyampaikan gagasan atau renungan (mungkin) tentang sebuah bahaya dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat kita. Bahaya karena kehidupan seperti berada di tepi sebuah jurang curam. Sedikit saja kita lengah maka bahaya itu akan datang melindas. Sementara setiap individu harus berusaha waspada. Terlihat dari adegan dimana para aktor saling menatap tajam. Aku merasa mereka adalah cerminan dari manusia yang sebenarnya. Manusia zaman sekarang yang secara tidak sadar sedang berada dalam sebuah emergency sosial. Kemudian masalah-masalah itu (metafor: bambu) mereka bawa dan mereka susun sedemikian rupa. Membentuk persilangan garis-garis menyerupai struktur dari daun dengan garis-garis tegas di dalamnya.

Kemudian para aktor bergerak menuju pusat arena dengan membawa kontruksi serupa daun itu. Mengepung seorang aktor yang berdiri dalam posisi waspada. Memburunya hingga dia tersudut dan terhimpit dalam cengkaraman Enam buah kontruksi. Disinilah menurutku pilihan jalan keluar dari bahaya itu sendiri. Sepertinya sebuah hal mustahil jika manusia itu bisa terlepas dari bahaya hanya seorang diri. Apalagi jika bahaya itu sudah menyangkut tatanan sosial yang notabene sudah menjadi akar permasalahan umum. Perlu upaya lebih jauh dalam tindakan penyelesainnya. Tidak lagi berbicara tentang tubuh individu melainkan harus bicara tentang tubuh-tubuh persatuan. Terlihat bagaimana para aktor itu kemudian membuat sebuah bentuk yang lebih besar lagi dengan menggabungkan Enam bilah kontruksi dalam satu bagian utuh. Mereka seperti ingin memecahkan masalah bersama. Bersatu padu untuk terlepas dari emergency meski tingkat keberhasilannya masih samar. Setidaknya ada usaha yang dilakukan.

Akhirnya kontruksi besar itu roboh! Mungkin ini makna simbolis yang aku tangkap dalam pementasan itu. Sebuah simbol dimana masalah besar itu akan hancur jika kita bersatu dalam penyelesaian sebuah konflik. Adegan selanjutnya berada dalam rasa hening yang dalam. Para aktor memikul sebatang bambu besar secara beramai-ramai. Tidak ada lagi tubuh yang terbelah, kalau memang yang dimaksud tubuh itu adalah manusia. Kini semuanya bersatu. Berjalan beriringan mengantar seorang aktor yang tiba-tiba merayap menaiki kontruksi yang sudah roboh itu. Tiba-tiba saja imajinasiku terbawa jauh. Seperti melihat sebuah pengangkatan derajat seorang manusia mendekati kesucian Tuhannya. Layaknya peristiwa yang dialami oleh Nabi Isa Almasih yang diangkat kelangit atau bahkan tentang kisah Isra Mirajna Nabi Muhammad. Menurutku inti dari adegan ini bercerita tentang bagaimana kita manusia harus dan akan kembali kepada Sang Pencipta atau bisa saja sebagai manusia kita harus kembali menemukan jati diri masing-masing dalam mengarungi samudera hidup ini. Jangan sampai terbelah oleh zaman yang semakin tidak karuan. Kita harus menjadi manusia yang benar-benar utuh tanpa bisa dibelah oleh apapun.


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | SharePoint Demo